Wednesday, January 20, 2010

Siapa ALLAH di hatimu.



Petikan dari cerita cerita seorang teman..

Pernah suatu ketika, seorang sahabat mendekati saya tika jiwa berkecamuk dengan cabaran-cabaran yang mendatang. Tampak jelas dia seolah-olah tidak mampu untuk berdiri teguh merentas hari-hari yang sarat dengan isu dan masalah. Sahabat itu, dengan galak matanya dan senyuman manisnya menyapa saya dengan tenang. Ketenangan yang sudah agak asing bagi diri saya ketika itu. Tidak banyak yang dilontarkan dari bibir sahabat itu. Namun, kata-katanya masih terngiang-ngiang di telinga, terpasak di minda dan mengakar di sanubari ini.

Satu persoalan yang ditanyakan kepada saya. Ia bertanya, apakah yang mendorong dan memberi kekuatan kepada kamu untuk meneruskan kehidupan ini?

Saya bagaikan tersentak.
What kind of question is this?
Where is she going with the question?
Is this a trick question?
All kinds of queries raced through my mind, but I was still mumble with no answer.

“Faham ke tak soalannya?” dia bertanya lagi sambil mengukir senyuman.
Saya hanya mampu mengangguk, meskipun hati masih belum 100% pasti dengan pemahaman sendiri.

“Erm, rasanya, banyak juga sebab saya untuk hidup. Saya sentiasa terdorong untuk keluarga yang menyayangi diri, kawan-kawan lain yang sama-sama belajar, cita-cita untuk dicapai.

Dia tersenyum..

Dia pun bersuara, “Okay, so, you mentioned your families, your friends, your dreams and people surround you..”

Saya mengangguk tanda setuju.

Dia menambah, “Di mana Allah dalam hidupmu?”

Astaghfirullahalazim. Saya bagai tertampar dengan persoalan itu. Tamparan itu masih terasa sehingga kini.

Di mana Allah? Apa peranan Allah dalam kekuatan hidup saya? Mengapa saya tidak sebutkan Allah sebagai kekuatan saya, sedangkan Allah sepatutnya menjadi tunjang utama kekuatan seorang yang bergelar islam, hamba kepada Sang Pencipta.

Sejujurnya, saya sungguh kecewa dengan diri sendiri. Saya sedar, akhlak manusia itu terpancar pada pertuturan dan perbuatannya yang paling spontan. I was disappointed with the fact that I did not spontaneously mention Allah as my core strength to live. I listed other factors but, I failed to mention Allah first.

“Astaghfirullah. Ya Allah, ampunkanlah dosa hambamu ini, terimalah taubat aku seadanya.”

Sahabat ana mendekati ana, lalu duduk sebelah-menyebelah.
She wisely said,

“Selayaknya, Allah perlu menjadi sebab utama kita berada di sini, sebab utama untuk kita hidup di atas muka bumiNya. Allah perlu menjadi kekuatan utama kita dalam menghadapi hari-hari sebagai hamba-Nya dan menjalankan amanah-Nya. Memang tak dinafikan, keluarga yang menyayangi kita, kawan-kawan yang membantu kita, atau mereka yang berada bersama kita pada waktu susah dan senang tetapi. . hakikatnya semua datang dari Allah SWT.”



“Kita sering lupa hakikat di sebalik yang terlihat oleh mata kasar. Kita nampak keluarga yang bersama kita juga kawan-kawan yang kita nampak mereka ketawa dan menangis bersama. Makan, masak, bergembira dan bersiar-siar bersama-sama. Tapi kadang-kadang kita terlepas pandang bahawa di sebalik itu semua, Allah yang merancang segalanya. Mungkin kalau kita duduk sendirian, muhasabah di waktu malam, kita tidak lupa bahawa Allah adalah perancang utama yang mengizinkan segalanya berlaku. However, in the spur of the moment, when we are around other people, having fun or feeling sad, we tend to forget that fact. We usually see and acknowledge things that we can physically visualize, failing to acknowledge the main superior in our lives, which is Allah.”


Saya masih lagi rasa malu dengan jawapan saya tadi. Malu pada diri sendiri, malu pada kawan saya dan paling penting, malu pada Allah. Sebagai seorang yang beriman, Allah perlu menjadi puncak segala-galanya. Allah itu sumber kekuatan.

"In my opinion, it all relates back to the initial intention that we had when we first told ourselves, 'we want to be a better muslim, we want to spread Islam, we want to make this world a better place to live to all. Later, we want to have kids and have a good family'

Why?

What was the reason behind all that wants? Is it truthfully and honestly because of Allah, or was there another agenda lurking beneath that beautiful action such as for our own benefit and to fulfil our own desire?

If we truly did it because of Allah, with He’s will, we won’t forget Allah throughout the course of our life as a Muslim. However, if we had other intentions, don’t fret. We still have time to repent and renew our intentions. Allah is Most Merciful and surely He loves His slaves who are constantly trying to improve and become better Muslims.


Kalaulah kita meletakkan kekuatan hidup kita pada keluarga, kawan-kawan, persekitaran yang membina, apa agaknya akan berlaku jika kita tidak lagi bersama-sama mereka? Tika mana keluarga jauh dari kita, atau sudah tidak bersama kita, kawan-kawan sudah hilang dari pandangan, tiada siapa lagi yang endah dan mengambil berat tentang diri kita, apakah kita masih akan bertahan dalam menjalani hidup ini? Apakah kita masih mampu mengekalkan amalan-amalan Islami yang saban hari kita lakukan? Apakah hidup kita masih lagi bermakna untuk diteruskan?

Hidup menjadi bermakna bila kita tahu tujuan kita hidup. Kerana apa kita diciptakan. dan atas segala tujuan itu maka, kekuatan untuk kita hidup seharusnya perlu diletakkan pada Allah S.W.T. Allah yang menentukan segalanya. Dia yang memberi hidayah dan petunjuk pada kita dan kawan-kawan kita untuk bersama-sama kita. Siapa kita untuk bergantung kepada yang lain dariNya?

InsyaAllah, jika kita terus-menerus meletakkan Allah sebagai kekuatan utama, tak kira di mana kita berada, berseorangan atau beramai-ramai, di Malaysia atau di luar negara, kaya atau miskin, susah atau senang, sihat atau sakit; kita akan sentiasa kuat untuk meneruskan kehidupan kita yang singkat di dunia ini serta mengingati amanah dan tanggungjawab kita sebagai Muslim sebenar."

Alhamdulillah..
Terima kasih kepada kawan2 yang selalu mengingatkan.

No comments: